By
at
On July 10, 2011
Belajar Falsafah dan memahami Objektivitas dan Subjektivitas
Pandangan Objektivitas dan Subjektivitas
Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa interpretasi Heisenberg terhadap fisika kuantum sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan filsafatnya. Bahkan ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia adalah seorang idealis yang bersemangat, yang mengakui bahwa ia sangat terkesan dengan Timaeus, karya Plato (di mana idealisme Plato tersaji dengan cara yang paling tidak dapat dimengerti orang), sambil bergabung dalam jajaran Freikorps, pasukan paramiliter reaksioner, yang senang menculik dan membunuh para aktivis serikat buruh, terutama aktif di tahun 1919. Kemudian ia menyatakan bahwa ia "jauh lebih tertarik terhadap ide-ide filsafat yang mendasar daripada hal-hal lainnya," dan bahwa perlulah "untuk keluar dari ide tentang proses objektif dalam ruang dan waktu." Dengan kata lain, interpretasi filsafati Heisenberg atas fisika kuantum sangat jauh dari sekedar hasil sebuah percobaan ilmiah. Jelas bahwa interpretasinya terkait erat dengan filsafat idealis, yang dengan sadar diterapkannya dalam fisika, dan yang menentukan seluruh cara pandangnya terhadap dunia.
Memahami konsep Objektivitas dan Subjektivitas
Filsafat semacam itu bukan saja bertentangan dengan ilmu pengetahuan, tapi juga dengan seluruh pengalaman kesejarahan manusia. Bukan saja ia tidak mengandung hakikat yang ilmiah, tapi juga sama sekali tidak ada gunanya dalam praktek. Para ilmuwan yang, pada umumnya, lebih suka tidak menyentuh spekulasi filsafat, mengangguk dengan sopan pada Heisenberg, dan terus saja meneliti hukum-hukum alam, menganggap sewajarnya bahwa alam bukan saja ada ada, tapi juga berjalan sesuai dengan hukum-hukum tertentu, termasuk hukum sebab-akibat, dan dengan usaha sedikit keras, dapat dipahami dengan sempurna, bahkan dapat diramalkan oleh manusia. Konsekuensi yang reaksioner dari idealisme subjektif ditunjukkan oleh perkembangan pribadi Heisenberg sendiri. Ia membenarkan keterlibatannya dengan Nazi dengan alasan bahwa "Tidak ada pedoman umum yang dapat kita gugu. Kita harus memutuskan bagi diri kita sendiri, dan tidak ada cara untuk meramalkan apakah yang kita buat ini adalah benar atau salah."
Erwin Schrödinger tidaklah menyangkal adanya gejala acak di alam secara umum atau dalam mekanika kuantum. Ia secara khusus menyebut contoh penggabungan acak molekul DNA pada saat pembuahan seorang anak, di mana ciri-ciri kuantum dari ikatan kimia memainkan peranan penting. Walau demikian, ia menolak interpretasi Copenhagen tentang implikasi dari "percobaan dua celah"; bahwa gelombang peluang Max Born bermakna bahwa kita harus menyangkal semua keobjektifan dunia, yakni pandangan bahwa keberadaan dunia ini tidak tergantung dari pengamatan kita terhadapnya.
Pertentangan konsep Objektivitas dan Subjektivitas
Schrödinger menertawakan penegasan Heisenberg dan Bohr bahwa, ketika elektron atau foton tidak sedang diamati, mereka "tidak memiliki posisi" dan hanya menjadi material pada titik tertentu sebagai akibat dari pengamatan. Untuk melawan pandangan ini, ia menciptakan satu "eksperimen pikiran" (thought experiment). Ambillah seekor kucing dan letakkan dalam sebuah kotak dengan satu ampul sianida, katanya. Ketika sebuah penera Geiger mendeteksi peluruhan sebuah atom, ampul itu akan pecah. Menurut Heisenberg, atom tidak "tahu" bahwa dirinya telah meluruh sebelum ada orang yang mengukurnya. Maka, dalam kasus ini, sampai seseorang membuka kotak itu dan melongok ke dalam, menurut para idealis, kucing itu akan terus berada dalam keadaan tidak hidup dan juga tidak mati! Dengan anekdot ini, Schrödinger bermaksud menggarisbawahi kontradiksi absurd yang disebabkan oleh penerimaan interpretasi idealis subjektif Heisenberg atas fisika kuantum. Proses alam berlangsung secara objektif, tidak tergantung apakah ada orang di sana untuk mengamatinya atau tidak.
Menurut interpretasi Copenhagen, realitas hanya muncul ketika kita mengamatinya. Pada saat selebihnya, realitas hanya ada dalam sejenis limbo, dunia maya, atau "keadaan superposisi gelombang peluang", seperti kucing tadi yang berada dalam keadaan tidak-mati-tapi-juga-tidak-hidup. Interpretasi Copenhagen mengambil garis pembedaan tegas antara yang diamati dengan yang mengamati. Beberapa fisikawan memilih pandangan, mengikuti ide interpretasi Copenhagen, bahwa kesadaran itu pasti ada, tapi ide realitas material tanpa kesadaran adalah mustahil. Persis inilah sudut pandang idealisme sunjektif yang dijawab oleh Lenin secara komprehensif dalam bukunya Materialism and Empirio-criticism.
Materialisme menurut Objektivitas dan Subjektivitas
Materialisme dialektik berangkat dari objektivitas jagad material, yang disampaikan pada kita melalui indera kita. "Saya menerjemahkan dunia melalui indera saya." Hal ini tidak perlu dibuktikan lagi. Tapi dunia ini ada, tanpa tergantung dari indera saya. Hal ini juga tidak perlu dibuktikan lagi, seharusnya demikian, tapi tidak untuk para filsuf borjuis! Salah satu varian utama dari filsafat abad ke-20 adalah positivisme logis, yang persis menyangkal objektivitas dunia material. Lebih tepatnya, ia melihat bahwa pertanyaan apakah dunia ini ada atau tidak adalah sebuah pertanyaan yang tidak relevan dan "metafisikal". Sudut pandang idealisme subjektif telah sempurna tergerogoti oleh penemuan-penemuan di abad ke-20. Tindakan mengamati bermakna bahwa mata kita tengah menerima enerji dari sumber luar tubuh dalam bentuk gelombang cahaya (foton). Hal ini dengan jelas diuraikan Lenin di tahun 1908-9:
"Jika warna adalah satu sensasi yang tergantung hanya dari retina (kita dipaksa mengakui ini oleh ilmu pengetahuan), maka sinar cahaya, yang jatuh ke atas retina, menghasilkan sensasi tentang warna. Hal ini berarti bahwa di luar tubuh kita, tidak tergantung pada kita dan pikiran kita, terdapatlah pergerakan materi, katakanlah gelombang ether yang memiliki panjang gelombang dan kecepatan tertentu, yang, ketika beraksi pada retina, menghasilkan sensasi tentang warna. Persis inilah pandangan ilmu pengetahuan tentangnya. Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa sensasi akan berbagai warna tergantung dari berbagai panjang gelombang cahaya yang ada di luar retina manusia, di luar tubuh manusia, dan tidak tergantung kepada manusia itu. Inilah materialisme: materi yang bertindak atas organ-indera kita akan menghasilkan sensasi. Sensasi tergantung pada otak, syaraf, retina, dsb., pada materi yang diorganisasikan dengan cara tertentu. Keberadaan materi tidak tergantung dari sensasi kita. Materi adalah primer. Sensasi, pikiran, kesadaran adalah produk pamungkas dari materi yang terorganisir dalam cara yang khusus. Demikianlah pandangan dari materialisme pada umumnya, dan pandangan dari Marx dan Engels pada khususnya."
Watak idealis-subjektif dari metode Heisenberg nampak dengan sangat ekplisit:
"Situasi aktual kita dalam kerja-kerja penelitian dalam fisika atomik biasanya seperti ini: kita ingin memahami gejala tertentu, kita ingin mengenali bagaimana gejala ini mematuhi hukum satu alam yang umum. Dengan demikian, bagian materi atau radiasi yang mengambil bagian dalam gejala itu adalah 'objek' alamiah dalam perlakuan teoritik dan harus dipisahkan dari alat-alat yang digunakan untuk menyelidiki gejala tersebut. Hal ini lagi-lagi menekankan satu unsur subjektif dalam menggambarkan kejadian-kejadian atomik, karena alat pengukur itu telah dibangun oleh sang pengamat, dan kita harus ingat bahwa apa yang kita amati bukanlah alam itu sendiri tapi alam yang ditempatkan di bawah metode penyelidikan kita. Kerja-kerja ilmah dalam fisika mengandung upaya mempertanyakan alam dalam bahasa yang kita miliki dan berusaha untuk mendapatkan jawaban dari percobaan melalui alat-alat yang ada dalam genggaman kita."
Kant mendirikan satu tembok kukuh antara dunia yang tampak dan realitas 'dalam dirinya sendiri". Di sini Heisenberg melangkah lebih jauh. Bukan hanya ia bicara tentang "alam pada dirinya sendiri", tapi bahkan menegaskan bahwa kita tidak dapat benar-benar memahami bagian alam yang kita amati, karena kita mengubah bagian alam itu persis ketika kita mencoba mengamatinya. Dengan cara ini, Heisenberg berusaha menghilangkan sama sekali kriteria objektivitas ilmiah. Sayangnya, banyak ilmuwan yang tentunya akan dengan tegas menolak tuduhan mistisisme telah tanpa sadar terserap dalam ide-ide filsafat idealis Heisenberg, hanya karena mereka enggan menerima perlunya pendekatan filsafat materialis yang konsisten atas alam ini.
Logika Objektivitas dan Subjektivitas
Poinnya adalah bahwa hukum-hukum logika formal runtuh di luar batas-batas tertentu. Hal ini terutama pasti berlaku untuk gejala-gejala di tingkat dunia sub-atomik, di mana hukum-hukum identitas, kontradiksi dan tanpa-antara tidak dapat diterapkan. Heisenberg mempertahankan sudut pandang logika formal dan idealisme, dan dengan demikian, niscaya sampai pada kesimpulan bahwa gejala kontradiktif pada tingkat sub-atomik tidak akan pernah dapat dipahami sama sekali oleh otak manusia. Kontradiksinya, dengan demikian, bukanlah terletak pada gejala teramati di tingkat sub-atomik, tapi dalam skema mental logika formal yang teramat kuno dan penuh kekurangan itu. Apa yang disebut "paradoks mekanika kuantum" persis adalah kontradiksi ini. Heisenberg tidak dapat menerima keberadaan kontradiksi yang dialektis, dan dengan demikian, memilih untuk bertahan pada filsafat mistisisme - "kita tidak akan pernah tahu", dan segala alasan lainnya.
Di sini kita menemukan diri kita dalam lingkungan sejenis sulap filsafati. Langkah pertama adalah dengan mengaburkan konsep sebab-akibat dengan determinisme mekanik kuno yang disajikan oleh orang-orang seperti Laplace. Keterbatasan dari determinisme ini sebenarnya telah diuraikan dan dikritisi oleh Engels dalam Dialectics of Nature. Penemuan mekanika kuantum akhirnya menghancurkan sama sekali determinisme mekanik. Jenis ramalan yang dibuat oleh mekanika kuantum berbeda dalam beberapa hal dari ramalan mekanika klasik. Walau demikian, mekanika kuantum tetap saja terus sanggup membuat ramalan-ramalan, dan menghasilkan jawaban-jawaban yang tepat sesuai dengan apa yang diramalkan.
Artikel berjudul : Objektivitas dan Subjektivitas
Sumber: Dari satu sumber tetapi lupa Link Downloadnya. Cuman ingin berbagi untuk dipahami dan ditelaah bersama. :D
Rate:
Dont have comment yet for: "Objektivitas Vs Subjektivisme"
Post a Comment